Kolom  

Manusia Cenderung Individualis dan Rasis

Bineka yang Sudah Tidak Lagi Eka untuk Indonesia

Teguh Santoso, S.Pd.I, M.Ag, dosen Universitas Safin Pati

MANUSIA pada dasarnya adalah mahluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, sehingga dalam melanjutkan kehidupan manusia membutuhkan interaksi sosial untuk bertahan. Interaksi sosial terjadi ketika manusia memiliki keinginan atau hasrat yang terkoneksikan oleh keinginan atau kepentingan. Kepentingan tiap individu akan membangun hubungan sosial yang saling terhubung atau saling tergantung.

Meskipun pada dasarnya manusia adalah mahluk sosial, namun di sisi lebih dalam manusia cenderung individualis dan rasis. Bingkai hubungan sosial manusia, tersusun dari kepentingan-kepentingan yang bersifat pribadi.

Kepentingan individualis tidak selalu bersifat negatif seperti seseorang yang memanfaatkan orang lain demi kepentingan pribadinya hingga merugikan orang lain. Adakalanya kepentingan individualis dibangun atas dasar saling membutuhkan dan saling menerima, seperti interaksi sosial dalam dunia industri.

Hubungan pekerja dengan pemilik pabrik, di mana pemilik pabrik memiliki kepentingan pribadi memanfaatkan para pekerja untuk mencapai tujuanya. Di sisi lain para pekerja dengan kesadaran menerima bagian interaksi dengan pemilik pabrik karena membutuhkan gaji.

Seperti halnya hubungan seorang guru dan murid. Guru memiliki hasrat untuk menyalurkan ilmu dan pengetahuan yang dimiliki, di satu sisi murid memiliki kepentingan mencari ilmu dan pengetahuan.

Hubungan orang tua dan anak pun sarat dengan hasrat kepentingan-kepentingan individualis. Seperti orang tua yang merawat anak-anaknya dengan berharap kelak anaknya akan merawat orang tuanya saat tua kelak. Sebaliknya anak melihat orang tua sebagai sosok yang bisa memenuhi keinginan dan kepentingan didalam dirinya.

Sifat ke-akuan untuk memenuhi keinginan dalam diri manusia menjadikan manusia pada dasarnya bersifat individualis. Dimana kepentingan pribadinya, terbingkai dalam berbagai aktifitas sosial. Sifat ke-akuan manusia tidak terbatas pada keinginan saja, termasuk di dalamnya adalah bagaiman kultur, budaya, suku, agama, menjadi refleksi ke-akuan manusia.

Dalam ruang lingkup yang lebih luas, keakuan-keakuan individu-individu bertemu dalam wadah kesamaan suku sehingga keakuan menjadi fanatik kesukuan. Demikian juga keakuan-keakuan refleksi keagamaan individu-individu menjadikan fanatisme dalam merefleksikan agama. Bisa jadi keakuan individu bersatu karena kesamaan histori, seperti halnya berdirinya bangsa Indonesia dengan kesamaan histori pernah dijajah.

Dari sifat individualis inilah, yang secara akumulatif menjadikan manusia tidak sadar terjebak kepada rasisme. Rasisme dapat terefleksi melalui banyak hal, seperti rasisme berdasarkan nasah atau garis keturunan dimana seseorang membanggakan trah garis keturunanya. Bisa dari tokoh agama, raja, hingga artis (seperti K-Pop).

Ketika manusia keakuanya merasa lebih unggul karena factor latar belakang keturunan, dia akan melihat latar belakang keturunan yang lain di bawahnya. Rasisme juga bisa muncul karena kesamaan lakon yang dialami oleh individu atau masyarakat. Seperti counter attack latar belakang yang dianggap lebih bawah terakumulasi dalam gerakan menolak orang dengan latar belakang tertentu.

Tentunya sangat tidak bijak jika kita melandaskan rasa suka dan tidak suka pada latar belakang keturunan semata dimana. Apalagi sampai mengeneralisir ras atau latar belakang tertentu baik atau buruk semua. Dimana nilai-nilai kebaikan dan keburukan tidak lagi menjadi timbangan yang adil untuk menentukan kebaikan atau keburukan.

Perilaku rasisme akan melahirkan counter attack rasisme yang lain, sehingga seseorang tidak lagi bisa menggunakan akalnya untuk berfikir dingin. Nilai luhur kebijaksanaan dan kemaslahatan tertutupi oleh keakuan yang mengkristal menjadi kebencian. Pada fase ini individu atau masyarakat sosial, tidak lagi peduli terhadapa apa yang dilakukan apakah berdampak baik atau buruk.

Perilaku rasisme diatas seperti racun yang mematikan dalam rajut berbangsa dan bernegara Indonesia. Negara majemuk seperti Indonesia akan kehilangan kebhinika ika-anya, slogan pemersatu perbedaan ini akan seperti pepesan kosong atau scroll tik-tok yang kehilangan makna esensialnya. Atau seperti bola salju yang semakin membesar dan memperuncing perbeda-perbedaan dalam jantung kultur social masyarakat yang majmuk di Indonesia.

Perilaku poropadu rasisme seperti ini akan meningkat menjadi gesekan fisik chaos horizontal, yang tentunya akan sangat sulit menyelesaikanya. Hingga pada akhirnya akan menjadi bara api liar yang semakin hari semakin membesar, melahap dan menghancurkan semua yang dilewatinya. Tanpa disadari ketika sudah terlambat semuanya sudah hancur, lebur menjadi abu atau menjadi arang.

Sungguh sangat disayangkan jika prilaku rasisme dibiarkan berkembang dan membesar, apalagi dipelihara oleh entah siapa saja yang berkepentingan. Energi bangsa Indonesia terkuras pada permasalahan yang tidak jelas pangkal ujungnya. Dimana bangsa Indonesia akan semakin terseok-seok mengejar ketertinggalan sains, teknologi, dan pembangunan.

Exit mobile version